Ia tidak mengenyam Taman Kanak-Kanak (TK). Sejak berumur 6 tahun, ia langsung masuk kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah Nurul Hajar. Sebuah madrasah yang terletak di Desa Banraas, diasuh oleh ustaz Juhairi Aziz beserta keluarga besarnya. Di madrasah ini, ia mengenyam pendidikan kelas 1 selama dua tahun. Waktu itu, ia masuk sekolah bukan atas keinginan orang tua tapi karena ia cemburu melihat kakak-kakaknya di kampung pagi-pagi sudah berpakaian rapi menuju sekolah. Alhasil, ia selalu menangis ketika melihat kakak-kakaknya berangkat sekolah. Ia selalu meminta untuk disekolahkan seperti mereka.
Karena badannya kecil -dan tetap kecil sampai sekarang- saat masuk sekolah menjadi pertimbangan bagi guru-gurunya di madrasah. Akhirnya ia tetap mendekam di ruang kelas yang sama selama dua tahun pelajaran.
Banyak kenangan-kenangan kecil selama menjadi siswa Madrasah Ibtidaiyah ketika diingat kembali sangat mengharukan dan sering kali membuat ia geleng-geleng kepala. Sampai akhirnya ia lulus pada tahun 2012.
Setelah lulus MI, ia melanjutkan ke jenjang lebih tinggi di yayasan yang sama. Hanya nama MI-nya yang berubah menjadi MTs. Nama sekolah barunya adalah MTs Nurul Hajar. Letaknya tidak jauh dari lokasi madrasah ibtidaiyahnya.
Di sinilah, ia mulai mengenal arti teman, arti perhatian dan kecemburuan.
Saat masih berada di bangku kelas VIII MTs, ia belajar naik sepeda motor secara otodidak. Motornya adalah Grand Astrea, dan motor inilah yang selalu setia menemani saya sampai lulus MTs. Ia tidak pernah malu bergabung dengan teman-temannya yang memiliki motor keren dan beken. Ia tidak pernah risih memarkir motornya di deretan motor satria dan matic milik temannya.
Lulus dari MTs Nurul Hajar, ia berkeinginan melanjutkan studinya di pesantren. Ia mesti minta izin kepada ayahnya yang merantau ke Pulau Kangayan. Demi keinginannya mengenyam studi di pesantren, ia harus rela melewatkan Ramadan di kampung dan berangkat menemui ayahnya di Pulau itu.
Annuqayah, pada saat itu masih belum dikenal secara luas. Masyarakat pada saat itu lebih suka memilih nama Luk-Guluk sebagai panggilan pada pesantren tertua di Sumenep ini. Ia pun tidak mengetahui bahwa di pesantren Luk-Guluk tidak seperti pesantren lainnya: banyak pesantren daerahnya. Ia baru tahu kalau ada pesantern daerah di Annuqayah yang bernama Latee I dan Latee II setelah setengah tahun bermukim di Pondok Pesantren Annuqayah Latee.
Setibanya di pondok, ia tertarik untuk memilih SMK sebagai pilihan sekolahnya. Namun karena desakan kakak saya yang suka terhadap kitab turats, dipilihkanlah Madrasah Aliyah tahfidh sebagai sekolahnya. Sekolah yang mata pelajarannya didominasi oleh mata pelajaran agama Islam. Buku-buku materinya berbahasa Arab. Hanya ada 4 materi yang berbahasa Indonesia. Itu pun adalah materi wajib nasional.
Sempat ia menangis, dan ini menjadi tangisan pertama sejak mondok, karena tidak bisa memahami apa isi materi pelajarannya. Ia tidak mudah memahami apa yang dijelaskan oleh guru-gurunya. Ia merasa sangat berdosa kepada orang tuanya sebab tidak bisa memahami dengan baik.
Lulus pada tahun 2018 dari madrasah ini tidak menjadikannya bisa memahami isi kitab. Dan tetap tidak bisa membaca kitab turats. Namun ia tidak pernah putus harapan. Ia tetap mencintai dan menyukai kitab turats.