Madura dengan kebudayaannya yang khas, tutur dan perilaku masyarakatnya yang kental dengan nuansa etik menyimpan banyak keistimewaan yang jarang dimiliki oleh daerah lain. Salah satu contoh karakter masyarakatnya yang tercermin dalam sebuah pemeo “ango’an pote tolang tembhang pote mata”, lebih baik mati dari pada hidup menanggung malu. Betapa harga diri benar-benar menyatu dalam diri masyarakat Madura.
Meski dalam banyak kesempatan masyarakat Madura selalu dibingkai dengan stigma yang kurang elok, menyetarakan karakter masyarakat Madura dengan karakter tidak berprikemanusiaan, tidak menyurutkan kepribadian masyarakat Madura yang menjunjung nilai sebuah harga diri.
Terlepas dari semua persepsi yang ada, Madura masih menyimpan harta karun yang tidak ternilai harganya. Sebuah anugerah Tuhan yang patut kita banggakan dengan cara terus merawat dan melestarikannya. Terutama aspek bahasa yang digunakan.
Secara geografis, Madura terbagi menjadi empat daerah bagian yang saat ini sudah memiliki pemerintahan dan sistem pemerintahan sendiri. Empat daerah tersebut yakni Kabupaten Bangkalan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep.
Kabupaten Sumenep merupakan daerah bagian Madura yang terletak di ujung timur. Luas daerahnya terhampar sampai Pulau Kangayan. Sementara Pulau Kangayan merupakan kepulauan terbesar yang dimiliki Madura.
Dalam empat daerah bagian tersebut, masyarakat memiliki karakter dan ciri khasnya dalam menggunakan bahasa. Ada yang mengurangi pelafalannya, bahkan yang sama sekali berubah strukturnya. Semisal di daerah Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan dalam menggunakan kata sapa “kamu” dengan kata “ba’na, ba’en”. Sementara di Kabupaten Sampang menggunakan “kakeh”, dan “hedeh” untuk Kabupaten Bangkalan.
Semisal di daerah Kabupaten Sumenep dan Kabupaten Pamekasan dalam menggunakan kata sapa “kamu” dengan kata “ba’na, ba’en”. Sementara di Kabupaten Sampang menggunakan “kakeh”, dan “hedeh” untuk Kabupaten Bangkalan
Ditilik lebih dalam lagi, dalam satu daerah kabupaten yang ada di Madura bahkan masih ada perbedaan dalam pelafalan. Ambil contoh masyarakat Sumenep kota dengan daerah Sumenep ke timur dari kota, berbeda dalam cara melafalkan kata “ba’na”, ada yang suaranya ditekan, ada yang intonasinya tegas, ada pula yang mendayu. Semua karakter tersebut bisa dijadikan alat untuk mengenal identitas daerah suatu masyarakat.
Ada beberapa kata secara struktur memiliki kesamaan namun berbeda dari aspek penggunaannya. Pojhur, ontong, dhajah dan bhajrah merupakan sebagian kata yang sama secara struktur namun berbeda makna sesuai daerah lokal masyarakatnya.
Tulisan ini mencoba menguraikan perbedaan masyarakat dalam menggunakan keempat kata tersebut. Instrumen yang digunakan untuk meneliti perbedaan kata tadi adalah interview dengan masyarakat berbagai daerah. Ada daerah Sumenep bagian timur, Sumenep bagian pantura dan Sumenep bagian barat. Juga Sumenep bagian selatan kota. Dengan kata lain, menggunakan kebiasaan orang Sumenep bagian timur untuk dicarikan perbedaannya dengan penggunaan bahasa masyarakat Sumenep daerah lain.
Masyarakat Sumenep bagian timur khususnya masyarakat kepulauan (selanjutnya akan ditulis masyarakat kepulauan) menggunakan kata “pojhur” dalam konteks peristiwa yang berdasarkan persepsi akal, merupakan sesuatu yang semestinya terjadi buruk namun kenyataannya tidak terjadi demikian. Contoh sederhananya si A mengendarai mobil melaju melewati suatu jembatan yang oleh masyarakat sekitar jembatan itu akan roboh ketika dilewati mobil. Setelah si A benar-benar melewati jembatan, ternyata jembatan tidak roboh. Maka orang Sumenep timur khususnya kepulauan akan menyebutnya “pojhur”. Dan kata “ontong” digunakan dalam ranah usaha atau kasab seperti hasil laba yang banyak atau hasil jual yang menguntungkan.
Namun masyarakat Sumenep ke selatan, utara dan barat kota sebaliknya, menggunakan kata “ontong” untuk peristiwa yang seharusnya terjadi tidak baik namun kenyataannya baik, dan menggunakan kata “pojhur” dalam hal usaha atau kasab.
Kata “dhajah”, ada pula yang menyebut “jhajah”, ungkapan atau ekspresi yang digunakan dalam peristiwa yang terus-menerus tetap dalam keadaan tersebut. Semisal melakukan peruntungan untuk membuat usaha, setiap melakukan terobosan-terobosan dalam usahanya selalu mendapat keuntungan yang menjanjikan. Inovasinya terus menuai banyak hasil. Masyarakat kepulauan menggunakannya dalam konteks demikian.
Sedangkan masyarakat Sumenep ke barat, perbatasan antara Sumenep dengan Pamekasan menggunakan kata “dhajah” dalam peristiwa yang juga dicontohkan dengan peruntungan usaha. Namun ada sedikit perbedaan. Kalau masyarakat kepulauan menggunakan ekspresi tersebut dalam hal kontinuitas laba yang diperoleh dalam usaha, tapi masyarakat bagian barat Sumenep menggunakannya dalam peristiwa yang secara akal usaha itu tidak akan berhasil disebabkan modal yang digunakan sangat sedikit namun ternyata hasilnya lebih unggul dari usaha yang menggunakan modal yang besar.
Contoh lain penggunaan kata “dhajah” oleh masyarakat Sumenep ke barat kota adalah peristiwa yang terjadi dalam kompetisi. Si A mengikuti kompetisi dengan usaha yang kurang maksimal yang menurut prasangka masyarakat kebanyakan tidak akan bisa memenangkan kompetisi itu. Mengingat kompetitor yang lain dengan usaha yang maksimal dan sangat prima. Namun yang terjadi sama sekali di luar dugaan. Si A bisa memenangkan kompetisi tersebut dengan modal usaha yang biasa dan mengalahkan kompetitor lain yang usahanya lebih bagus. Masyarakat Sumenep bagian barat menggunakan kata itu dalam konteks ini.
Kata “bhajrah” oleh masyarakat kepulauan digunakan untuk ekspresi pengharapan. Ketika ada yang ingin memulai sebuah usaha, ketika akan berangkat merantau atau apa pun hal lain yang berkenaan untuk memulai sebuah usaha. Salah satu contoh ungkapannya adalah “mala mandhar bhajra’ah usahana” (semoga usahanya banyak hasilnya). Tampaknya masyarakat Sumenep daerah lain juga menggunakan kata “bhajrah” dalam konteks yang sama yaitu sebuah pengharapan.
Jika dikaji lebih lanjut ternyata keempat kata tersebut memiliki hubungan yang erat. Bahkan memiliki unsur kesamaan yang kental. Kata “pojhur” digunakan atau diungkapkan kepada orang yang starata sosialnya lebih tinggi dari pengucap. Kiai, tokoh masyarakat, pejabat, tokoh publik adalah contoh orang-orang yang dianggap memiliki strata sosial lebih tinggi. Tidak akan ditemukan pengucapan kata “ontong” terhadap orang yang memiliki starata sosial yang lebih tinggi. Masyarakat akan menyebutnya kurang sopan atau kurang baik. Artinya, kata “pojhur” untuk mereka yang status sosialnya lebih tinggi dan kata “ontong” untuk orang yang setara atau lebih rendah.
“Pojhur” untuk mereka yang status sosialnya lebih tinggi dan kata “ontong” untuk orang yang setara atau lebih rendah
Sementara kata “bhajrah” lebih umum dari “pojhur, ontong dan dhajah”. Kata “bhajrah” secara implisit mengandung arti keberuntungan, keuntungan, keselamatan dan yang semakna. Jika seseorang mengucapkan “bhajrah” maksud yang terkandung adalah pengharapan agar suatu orang, suatu perkara senantiasa dalam keadaan “pojhur, ontong dan dhajah”.
Analisis ini mungkin hanya berkisar dalam ranah permukaan, ketika dikaji lebih mendalam akan ditemukan pemahaman-pemahaman yang lebih berwarna dan bervarian. Dan pada akhirnya akan berhenti pada titik kesepakatan bahwa Madura dengan segala entitas yang ada di dalamnya patut dibanggakan, dijaga dan dilestarikan. Salam pergerakan!
0 Komentar