Seseorang mengawasiku dari jauh. Tatapan matanya yang dalam, raut wajahnya yang hening menambahkan kesan tersendiri tentang keangkuhannya.
“Dia menginginkanmu,” demikian orang-orang mengatakan.
Setiap kali kata-kata itu terdengar, bulu kudukku bergetar. Hatiku berdesir, jantungku tak karuan. Pikiranku lepas tak tentu arah.
Suatu hari di dekat jembatan persis ketika matahari tegak lurus di atas kepala, aku bertemu dengannya. Bukan, kurasa dia menungguku sejak pagi. Pertemuan ini sama sekali bukan kebetulan.
“Kau menungguku?” dengan lantang kutanya.
“Betul!”
Jawaban itu benar-benar menyayat telinga, “Sudah lama kunantikan kesempatan ini,” balasnya.
“Ha ha ha. Kudengar kau menginginkanku,” dengan nada meledek kuberanikan berucap.
“Kapan kau siap untuk itu?”
“Secepatnya!”
***
Seminggu setelah bertemu secara kebetulan di pasar malam, baru kuketahui, gadis bergigi gingsul itu Ningsih namanya. Orang-orang menyebutnya kembang desa. Dia tinggal di Desa Bidal, cukup jauh dari tempat tinggalku namun masih satu kecamatan. Tak kusangka pertemuan ini benar-benar mengubah jalan hidupku. Siang dan malamku mejelma dirinya. Gigi gingsul miliknya begitu membekas dalam hati. Tak rela kubiarkan bayangnya lepas sedetik saja. Aku benar-benar jatuh sejak pandangan pertama.
Kepada banyak orang kutanyakan kehidupannya, keluarganya dan kesehariannya. Dan dari orang-orang pula kuketahui bahwa Ningsih bekerja di pasar malam. Tidak setiap malam, dia hanya bekerja pada malam Minggu. Begitulah yang kudengar dari orang-orang.
Tak kuduga pertemuan ini benar-benar mengubah hidupku. Aku memiliki rutinitas baru setiap malam Minggu, hanya untuk memastikan bahwa yang memiliki gigi gingsul itu benar-benar Ningsih. Tak pernah puas kumengagumi dan tak henti-hentinya dia membuatku kagum, dan jatuh berkali-kali. Melamun adalah harian bagiku.
Sabtu, hari yang benar-benar kuperhitungkan, setelah memastikan jalan mana yang akan Ningsih gunakan ketika pulang, kubulatkan tekad untuk mengatakan rasa cintaku yang sangat padanya. Selesai dengan perhitungan-perhitungan tadi, kucoba mereka-reka dengan cara apa aku akan mengatakan, dan dengan apa aku akan meyakinkan hatinya. Kupikir Ningsih bukan tipe perempuan penyuka bunga. Tidak pula hadiah. Dari wajahnya yang teduh, bisa kupastikan Ningsih tak menyukai benda-benda tersebut. Dia perempuan sederhana. Kira-kira begitulah aku berkeyakinan.
Tiga jam menunggu, tak ada tanda Ningsih akan berlalu, aku berusaha menunggu dan sedikit bersabar.
“Sumpah, ini lebih menegangkan mengaji kepada Kiai Maftuh di kampungku yang suka mendaratkan telapak tangannya di pipi jika kedapatan salah melafazkan huruf-huruf hijaiyah. Atau pukulan rotan Pak Ali ketika aku dan teman-teman kepergok mencuri buah mangganya,” cerutuku.
Sumpah, aku selalu muak berurusan dengan nyamuk. Makhluk kecil ini, ya binatang tidak tahu untung yang jarang mandi ini selalu membuat hati kasihan jika kubasmi, namun jika tidak, dia dan gerombolannya akan semakin jadi-jadi saja. Saat ini aku bisa memakluminya sebab berkat binatang kecil ini aku tak merasa terlalu kesepian. Lagi pula aku menyukai suaranya, di telingaku ia bak nyanyian merdu yang menjelma bait-bait cinta untuk Ningsih gadisku. Sebentar lagi dia akan jadi gadisku. Lihat saja!
Malam itu aku tak berhasil bertemu Ningsih. Hampir tujuh jam kutunggu di kelokan jalan yang biasa dia lalui ketika pulang. Perhitunganku sia-sia, rencanaku seminggu ini benar-benar gatot. Gagal total. Itu berarti aku harus ekstra sabar menunggu sepekan lagi. Seperti yang dikatakan orang-orang, Ningsih hanya bekerja pada malam Minggu.
Keesokan hari setelah malam yang sial hati ini gelisah, perasaanku merana. Mengapa Ningsih tidak melewati jalan itu padahal telah kupastikan dia akan melewatinya. Bukankah sebelum kutunggu pulangnya, Ningsih betul-betul datang.
“Jangan-jangan Ningsih mengetahui niatku. Sehingga dia pulang lewat jalan lain?,” pikirku mencoba menerka, “tapi tidak. Hanya jalan ini satu-satunya untuk pejalan kaki. Tidak mungkin Ningsih lewat jalan lain.”
Selasa, tiga hari setelah malam yang sial itu, baru kuketahui penyebab Ningsih tak pulang melewati jalan itu. Keluarganya menjemput lebih awal dan tak seperti biasa. Ningsih selalu pulang dan berangkat sendiri. Dia tidak pernah dijemput atau diantar. Kata orang-orang, malam itu ibunya sedang sakit parah dan mengharuskannya pulang lebih cepat. Kehidupan Ningsih dengan seorang ibu yang terus sakit-sakitan membuat tekadku untuk mengatakan cinta padanya seakan menemukan oase di tengah gersangnya padang sahara. Aku semakin tak sabar menjadi tulang punggung kehidupannya, menjadi lelaki yang bertanggung jawab terhadap kebutuhan lahir dan batinnya.
***
“Apa yang akan kamu gunakan?”
“Aku tak memilikinya. Satu pun tidak.”
“Hidupmu benar-benar sial! Bagaimana mungkin laki-laki tak pernah bersiap untuk itu.”
“Kurasa tak ada waktu untuk berdebat. Sekarang bantulah aku.”
“Besok malam kamu ke sini lagi. Kita akan cari sesuatu.”
Kedatanganku yang tak disangka membuat sahabatku, Jamal, sedikit terharu sekaligus sedih mengingat kedatanganku yang datang dengan cerita yang kurang baik. Setibanya di rumah Jamal, langsung kuceritakan semuanya. Asal mula kejadian hingga berujung tantangan Karman padaku. Kuceritakan pula keadaanku yang tak memiliki satu pun senjata.
Jamal adalah teman bermainku waktu kecil, hanya aku dan Jamal yang tetap tinggal di desa. Teman-teman kami yang lain sudah banyakyang merantau ke ibu kota. Mereka tak sudih tinggal di desa yang katanya tak menjanjikan apa pun. Padahal, menurutku tinggal di desa tak pernah kekurangan suatu apa. Karena itu aku selalu berikrar untuk tetap tinggal di desa dengan anak-anakku kelak. Anak-anakku dari Ningsih.
Selain keberanian dan sebilah benda bengkok ini tak ada lagi yang kubawa. Tempat ini benar-benar mencekam. Nyaris tak satu pun orang melintas. Namun nyaliku tak ciut. Jantungku memang tak henti berdebar. Mataku pun terus awas, takut-takut Karman menyerangku tiba-tiba.
“Kita bertemu di alun-alun,” ucap Karman ketika mencegatku di jembatan siang itu.
Desir angin menerpa wajah, gemerisik dedaunan mengalun di bawah kaki. Kupelankan langkah, melirik sepanjang penglihatan. Sama sekali tak ada tempat untuk bersembunyi. Karman benar-benar memilih tempat yang pas untuk menyambut kematian. Kematianku atau Karman sendiri.
“Kamu cukup bernyali untuk datang,” Karman menyambutku. Sebilah parang menyembul dari balik bajunya, sengaja diperlihatkan. Bak dikawal angin, Karman muncul dari belakang.
“Apa yang membuatmu menginginkanku?” tanyaku.
“Seperti yang kamu ketahui, Ningsih telah menolakmu.”
“Ternyata keangkuhanmu tak berbuat banyak, tidak pula menjadikanmu berani menerima kenyataan,” ledekku.
Beberapa hari setelah malamnya gagal menemui Ningsih, akhirnya kutemukan kesempatan di luar dugaan. Ningsih kutemukan di jalan perbatasan, entah dari mana dan akan ke mana. Sepertinya dia dari kantor kecamatan yang memang terletak di desaku. Tak kusia-siakan kesempatan emas yang menurut orang tak akan datang dua kali. Kukatakan semua padanya. Tentang hatiku yang jatuh pada pandangan pertama.
Ditanya tentang kesediaannya menjadi kekasih, Ningsih hanya menyunggingkan senyum. Pikiranku menyimpulkan Ningsih juga memiliki rasa yang sama padaku. Setidaknya kulihat dari senyumnya. Tapi tidak, senyum itu tak berlangsung lama. Ningsih berlalu begitu saja tanpa sepatah kata. Akhirnya kuketahui dari orang-orang, Ningsih sudah bertunangan dengan Karman. Sahrul yang tak lain bapak Karman memaksa ibu Ningsih agar menjodohkan putrinya dengan Karman anaknya. Sahrul pula yang menjemput Ningsih saat aku menunggunya di pasar malam.
“Kusarankan kamu tak menganggap sedang memperjuangkan cintamu. Laki-laki terlalu rendah untuk itu,” Jamal menasihatiku.
“Paham. Bukankah cinta juga pantas diperjuangkan?” jawabku meyakinkan, “aku tak pernah belajar berkelahi, tapi aku bisa memukul mungkin juga membunuh.”
“Kamu gunakan ini saja. Kamu tak akan kesulitan jika menggunakan ini,” Jamal menyerahkan benda semacam celurit, hanya saja ukurannya lebih kecil, dan ujung matanya tidak searah dengan ujung gagangnya. “Orang-orang menyebutnya Pangerrat. Kaubidik perut Si Karman itu!”
“Aku tak habis pikir, entah mulut siapa yang bocor. Tak mungkin Ningsih mengatakan pada Si Karman. Aku tahu betul perangai Ningsih,” ucapku kepada Jamal saat bertanya mengapa Karman bisa tahu kalau dia mengatakan cinta kepada Ningsih.
“Ini letakkan di atas pintu rumahmu,” Jamal menyerahkan gulungan kertas yang dibungkus kain putih.
“Jangan lupa memakai ini. Sabuk ini warisan kakekku. Kamu tak perlu bertanya untuk apa. Kamu hanya perlu yakin,” ucapnya ketika mengantarku pulang.
Ningsih tak pernah menyukai Karman. Dia hanya dipaksa oleh kehendak Sahrul bapak Karman. Mustahil jika Ningsih menolakku karena telah memilih Karman.
“Sudahlah jangan banyak bacot. Kita tentukan siapa yang lebih pantas,” Karman menghunus parangnya, Begitu juga denganku. Kuraih senjataku dari pinggang. Karman rupa-rupanya tak mengenali benda bengkok ini. Kulemparkan sarung senjataku sekenanya. Kuperhatikan mulut Karman komat-kamit. Entah apa yang dirapalnya.
“Sialan. Dia benar-benar telah siap,” pekikku dalam hati, “tidak ada alasan untuk tidak tetap tenang.”
Karman tak menunggu komat-kamitnya selesai untuk menyerangku. Dia tebaskan parangnya ke leherku. Aku mundur satu langkah ke samping. Mata Karman awas dan jeli melihat sabetanku, Karman tak terkejut dengan serangan balasanku.
“Hanya itu bekalmu untuk mendapatkan hati Ningsih?” Karman menertawakanku.
“Asu, kau!” jawabku yang langsung menghadiahi tebasan ke arah perutnya. Karman melengking berputar ke samping. Kusabetkan lagi celurit kecil ini ke ulu hatinya. Lagi-lagi Karman mengelak. Gerakannya menghindar dari seranganku, seakan mengejek kemampuan berkelahiku. Aku kalap, tak kubiarkan moncong celuritku berdiam, aku terus menebasnya. Sesekali Karman balas menyerang. Tebasannya benar-benar terukur, hampi mengenai pinggang jika saja aku cepat kuberbalik arah. Hindaranku membuat serangan Karman bertubi-tubi.
Napasku mulai tak teratur. Karman tak menyia-nyiakan kesempatan menyerang. Tebasannya hampir saja mengenai perut. Kutangkis, kuhempaskan kembali parangnya. Itu membuatnya benar-benar geram. Gemeretak giginya menahan amarah. Kulayangkan serangan balasan hampir mengenai lehernya. Karman melihat perutku yang kosong tanpa perlindungan. Tak sempat kumengelak ketika ujung parangnya menembus kulitku. Perih mulai terasa. Tak kubiarkan kegembiraan Karman berlanjut, kusambarkan celurit kecil ini ke samping perutnya. Benar yang dikatakan Jamal saat menyerahkan celurit ini, benda ini rupanya sangat ampuh membidik perut.
Sebelum tiba-tiba senjataku lepas dari genggaman, kurasakan nyeri di pergelangan tangan. Parang Karman membuat luka di bawah siku tangan kananku. Tak sempat kulihat kedalamannya, parang Karman bergerak lagi menyentuh leherku. Perlahan pandangan mengabur, sekeliling mulai gelap sebelum tubuhku benar-banar roboh.
“Aku memang kalah melawannya, tapi aku menang melawan ketakutanku.” Kusaksikan Ningsih membingkai tersenyum, tangannya melambai ingin menjangkau. Sebelum gelap benar-benar mendekapku.
1 Komentar
Menginspirasi banget
BalasHapus